Nakita.id - Setiap pasangan yang memutuskan menikah tentunya ingin bisa mengarungi mahligai rumah tangga bersama.
Saat ijab kabul diucapkan di depan para saksi dan berjanji, tentu sama sekali tidak terbesit mengenai perceraian.
Pernikahan merupakan penyatuan dua insan yang berbeda menjadi satu secara sah atas dasar cinta.
Awal-awal pernikahan merupakan momen yang sangat berarti bagi sebagian besar pasangan karena sedang ‘hangat-hangat’-nya dalam menjajaki masa perkenalan.
Baca Juga : Tidak Marah juga Kesal, Sule Minta Maaf Saat Tahu Foto Lina dengan Lelaki Lain!
Berbagai kebiasaan yang ada saat dalam masa berpacaran bisa berubah drastic.
Saat berpacaran, sebagian besar orang hanya menunjukkan sisi baik dan tidak bisa menjadi diri sendiri.
Berbeda setelah menikah, pasangan akan lebih terbuka dan mampu menunjukkan jati diri sesungguhnya.
Namun, setiap rumah tangga tentunya memiliki masalah yang berbeda-beda.
Beberapa pasangan memilih untuk bertahan, sedangkan yang lain memilih untuk bercerai.
Salah satu pasangan selebriti yang rumah tangganya sedang berada di ujung tanduk adalah Sule dan Lina.
Kabar ini cukup mengejutkan publik, mengingat pasangan ini tampak harmonis dan adem ayem selama 21 tahun mengarungi biduk rumah tangga.
Tiba-tiba, Lina memutuskan untuk menggugat cerai Sule pada 26 April 2018.
Sule yang awalnya mengelak mengenai perceraian, akhirnya mengakui adanya masalah dalam rumah tangganya.
Dalam gugatannya Lina menyebut alasannya meminta cerai karena adanya perbedaan visi misi dengan Sule dalam mengarungi mahligai rumah tangga.
Salah satu gugatan yang diperjuangkan Lina adalah mengenai hak asuh anak.
Baca Juga : Model Profesional Kimmy Jayanti Tulis Ini, Sindir Orang yang Berusaha Hancurkan Rumah Tangganya?
Lina ingin anak-anaknya yang masih balita untuk ikut serta dengannya, karena anak pada usia masih sangat muda sangat membutuhkan sosok seorang ibu.
Namun, setelah beberapa kali melakukan mediasi, Lina memutuskan untuk tidak menggugat hak asuh anak.
Hal ini dikarenakan Lina ingin keempat anaknya tidak terpisah dan berkumpul bersama ayahnya.
Kabar perceraian Lina dan Sule sempat membuat putra sulungnya, Rizky Febrian merasa sedih.
Pada unggahan instagram story Rizky beberapa bulan lalu, ia menunjukkan perasaan sedih mengenai perceraian orangtuanya.
Bahkan, beberapa kali mata Rizky tampak sembab seperti habis menangis.
Dampak perceraian bagi anak
Moms, perceraian orangtua tentu memberikan dampak khusus bagi anak-anaknya.
Anak-anak yang semula merasakan kasih sayang orangtuanya secara utuh, maka terpaksa harus memilih ikut salah satu orangtuanya karena perceraian tersebut.
Maraknya kasus perceraian menimbulkan banyak pertanyaan mengenai pada usia berapakah perceraian orangtua berdampak buruk yang minim bagi anak?
Apakah usia balita yang terbaik karena anak belum mengerti dan belum banyak berinteraksi dengan kehidupan orang tuanya?
Jawabannya adalah, tidak ada usia terbaik bagi anak untuk menerima perceraian Moms!
Baca Juga : Rumah Tangga Shezy Idris Ramai Dibicarakan, Ini Latar Belakang dan Pekerjaan Suaminya
Sebenarnya dampak perceraian bervariasi sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan psikologis mereka.
Dalam menghadapinya, orangtua perlu paham mengenai dampak dan kebutuhan yang bervariasi dari anak-anak.
Dilansir dari edukasi.kompas.com, beginilah dampak perceraian bagi anak berdasarkan usia:
1. Usia anak 0-2 tahun
Anak berusia 0 – 2 tahun sedang dalam tahap awal kehidupan.
Pada usia ini, tentu saja bayi tidak memiliki kesadaran yang nyata tentang perceraian.
Dampak perceraian yang paling pasti dialami anak usia 0-2 tahun adalah mereka tidak bisa dibesarkan oleh orangtua kandung secara bersama-sama.
Baca Juga : Putra Dewi Yull Tunangan dengan Merdianti Octavia, Si Pemain Sinetron Cantik!
Mengasuh anak pada usia 0-2 tahun merupakan tahapan pembentukan ikatan bathin yang khusus antara orangtua dan anak.
Pada usia ini anak membutuhkan kontak secara terus menerus dengan orangtuanya untuk membentuk kedekatan dan cinta yang mendasar.
Kontak ini menjadi landasan bahwa anak merasa dicintai dan istimewa serta perasaan cinta anak kepada orang-orang disekitarnya.
Anak yang merasa dicintai akan memiliki perasaan kesejahteraan diri dan memiliki pengharapan mengenai perasaan cinta di masa depan.
Setelah perpisahan, salah satu dari orang tua tidak lagi berada di rumah dan kontak dengan anak pun tidak dapat dilakukan setiap hari.
Terlebih apabila orangtua yang bercerai telah memiliki pasangan baru dan keluarga baru.
Orangtua yang telah menikah lagi tidak akan memiliki ikatan langsung dua arah dengan anak, dari anak ke orangtua dan orangtua ke anak.
Risiko kehilangan kontak dengan salah satu orangtua kandung sangat mungkin terjadi.
Walau kedua orangtua kandung masih kerap melakukan kontak dengan anak, lama-kelamaan akan menimbulkan perasaan khawatir mengenai cara mengasuh atau merawat karena perbedaan pandangan.
Bila ini terjadi, anak akan kehilangan kasih sayang dan berdampak pada kepercayaan diri, konsep diri, dan lain-lainnya kelak.
Alangkah baiknya bila tetap menjaga komunikasi dengan mantan dan membiarkannya ikut mendidik anak demi kepentingan dan kebaikan si kecil.
2. Usia anak 2-5 tahun
Anak pada usia prasekolah ini sangat menyadari, ada perubahan besar yang terjadi saat perceraian berlangsung.
Salah satu orangtua tidak lagi tinggal di rumah dan tidak hadir sewaktu-waktu.
Anak usia ini memerhatikan bahkan merasakan kehilangan itu.
Baca Juga : Curiga Dibohongi Pasangan? Begini Cara Mudah Mendeteksinya, Hanya Hitungan Detik
Anak akan kerap bertanya mengenai keberadaan salah satu orangtuanya yang sering pergi.
Pertanyaan:”Kemana ayah/ibu, saya kangen,” adalah pertanyaan yang banyak diucap anak usia ini.
Ketika salah satu orangtuanya pergi, ada ketakutan tersendiri dalam diri anak berupa kemungkinan orangtua yang lainnya akan pergi juga.
“Jika ayah pergi, maka ibu kemungkinan juga akan pergi,” adalah pemikiran wajar yang dialami anak usia ini.
Isu perceraian utama adalah perubahan dan kehilangan.
Anak tidak suka kedua hal itu karena menakutkan.
Anak usia ini akan merasa percaya diri karena dukungan kuat dari kedua orangtuanya, ketika dukungan tersebut tidak didapatkan penuh dan merasa kehilangan, maka tingkat kepercayaan diri anak akan terganggu.
Reaksi utama terhadap hilangnya kepercayaan diri mereka adalah dengan menarik diri dari lingkungan.
Anak akan cenderung sulit bergaul dengan teman-teman atau percaya lebih jauh dengan orang lain karena perasaan takut dikecewakan.
Anak akan enggan mengambil risiko, memastikan diri tak ada lagi kehilangan berikutnya dan memerlukan waktu untuk membangun kepercayaan diri yang telah rusak.
Jika kepercayaan diri anak telah rusak, efeknya sangat fatal bagi dan berisiko merusak masa depannya.
Anak mungkin akan terus bertanya mengapa salah satu orangtuanya tidak tinggal lagi bersamanya, hal ini karena yang mereka inginkan adalah agar segala sesuatu kembali ke kondisi semula.
Sebaiknya pada usia ini, beri anak penjelasan mengenai apa yang sebenarnya terjadi agar perubahan kehidupan yang anak hadapi akan dijalani lebih mudah.
Beri pengertian secara halus, hati-hati dan mengertilah mengenai perasaan anak sekecil itu yang harus menerima kenyataan bahwa orangtuanya tak lagi utuh.
Baca Juga : Anak Dewi Yull yang Akan Menikah Tampan dan Berpendidikan Tinggi, Ini Pekerjaannya!
3. Usia remaja
Perceraian orangtua bagi kalangan remaja merupakan sebuah momok yang membuat kaget, takut, sekaligus terganggu.
Pada usia remaja, anak-anak mulai mengenal berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar, seperti penyesuaian dengan teman sebaya, menghadapi godaan kenakalan remaja, mengerjakan berbagai tugas sekolah, mengalami perubahan kematangan seksual karena hormon, seperti menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada anak laki-laki, masalah jerawat, usaha memperbaiki penampilan, dan masih banyak lagi.
Berbagai permasalahan pada dunia remaja cukup menguras pemikiran para remaja yang sedang dalam tahap mengenal dunia kehidupan sesungguhnya.
Apabila permasalahan remaja yang dihadapi ditambah dengan perceraian, maka kehidupannya akan terganggu.
Anak usia remaja cenderung berusaha melupakan masalah orangtuanya dan berusaha menerima keadaan.
Mereka cenderung ingin menjadi mandiri dengan menyelesaikan berbagai masalah kehidupan remaja yang cukup menguras pikirannya.
Namun, tak jarang para remaja yang tidak memiliki kontrol diri yang kuat justru terjerumus dengan kenakalan remaja.
Tak bisa dipungkiri, godaan kenakalan remaja sangatlah kuat, dan pada fase ini anak-anak belum terlalu mengerti mengenai hal yang buruk, benar, dan dampak yang akan terjadi.
Menghadapi permasalahan bagi anak remaja bagi dua sisi mata pisau Moms.
Perlu pengawasan dan pembekalan mental khusus agar anak mampu menghadapi perceraian orangtua dengan baik.
4. Anak yang sudah dewasa
Banyak yang mengira bahwa perceraian orangtua bagi yang sudah memiliki anak berusia dewasa bisa memberikan dampak yang minim bagi psikologis anak.
Hal ini salah besar Moms, karena pada kenyataannya anak yang sudah berusia dewasa pun rentan memiliki dampak negatif perceraian.
Anak-anak yang sudah dewasa sadar bahwa perceraian orangtuanya bisa merugikan dan mempersulit hidup mereka kedepannya.
Dari luar, mungkin anak-anak yang sudah dewasa terlihat tegar menghadapi perceraian orangtuanya, apalagi bagi mereka yang sudah berkeluarga.
Anak-anak yang sudah memiliki keluarga sendiri bisa saja terlihat lebih bahagia dengan cara fokus bersama keluarganya sendiri dan kerap melakukan liburan.
Namun, ada saat-saat tertentu mereka akan dilema memilih mana orangtua yang diprioritaskan.
Misalnya saja saat hari raya, orangtua mana yang terlebih dulu dikunjungi? Ayah atau ibu?
Hal lain yang biasa ditemui kesulitan bagi anak dewasa dalam menghadapi perceraian adalah ketika anak perempuan hendak menikah dan membutuhkan ayahnya sebagai wali.
Apabila anak tersebut tinggal bersama ibu dan tidak terlalu dekat dengan sosok ayah, hal itu merupakan suatu setruman bathin baginya.
Harus memihak yang mana?
Perceraian terjadi selalu dilandasi masalah.
Masalah bisa terjadi karena salah satu atau kedua belah pihak.
Sebaiknya, jangan menceritakan secara detail penyebab perceraian dengan anak.
Orangtua yang bertanggung jawab tidak akan menempatkan anak-anak di tengah perceraian orangtuanya.
Sebab, apabila anak mengetahui masalahnya dengan detail, anak akan bisa menilai siapa yang benar dan siapa yang salah.
Anak akan cenderung memihak salah satu orangtua dan membenci orangtua yang lain.
Masalah perceraian cukup orangtua saja yang tahu, jangan melibatkan anak.
Hidup dengan ragu
Anak-anak yang dari kecil hingga dewasa dibesarkan dengan penuh kasih oleh kedua orangtuanya tentu akan merasakan perasaan batin yang damai dan bahagia.
Mereka akan berharap perasaan bahagia itu akan berlangsung selamanya.
Baca Juga : Catat, Ini Kesalahan Orangtua Saat Memberi Parasetamol Untuk Anak
Setiap anak pastinya berharap hubungan orangtuanya akan terus harmonis dan langgeng hingga akhir hayat.
Namun, begitu anak-anak yang telah dewasa tiba-tiba harus menerima kenyataan pahit perceraian orangtuanya, ia akan merasakan kebingungan dalam hidupnya.
Bahkan, tak jarang anak akan menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab perceraian orangtuanya.
Perasaan bingung dan bersalah yang begitu besar sangat memungkinkan anak mengalami depresi.
Lebih merasakan sakit
Sebagian besar kasus perceraian akan berakhir dengan hubungan yang tidak baik.
Beberapa memilih menjaga jarak dengan mantan, bahkan membuka semua aibnya.
Tindakan seperti itu sangat melukai anak, terlebih bagi mereka yang sudah dewasa.
Sebaiknya, bijak dalam melakukan segala tindakan.
Jika perceraian tak dapat dihindari, jangan sampai hal ini merugikan anak.
Hilangkan ego untuk memiliki anak seutuhnya, karena memang anak memiliki kedua orang tua yang tak bisa dipisahkan sepenuhnya.
Source | : | kompas |
Penulis | : | Kirana Riyantika |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR