Sebelum didiagnosa kanker getah bening, Intan mengaku sempat koma sebanyak 2 kali dan mendapatkan benjolan lain di sekujur tubuhnya.
Ia juga harus tidur dengan cara duduk karena merasa sesak napas saat tidur dengan posisi telentang.
"Pas di periksa dirontgen, taunya udah ada cairan di paru-paru kanan waktu itu. Yaudah dikeluarin cairannya.
Seminggu diopname, seminggu kemudian aku gak lebih baik. Malah mulai muncul benjolan baru disebelah kanan. Jadi udah kayak kotak kepala aku.
Dan aku pun kalo tidur gak telentang karena kalo telentang kan gabisa nafas, kan engap ya ada cairan di paru-paru. Jadi aku kalo tidur sambil duduk.
Baca Juga : Berita Kesehatan Terbaru: Bakteri Menyerang Perut Anak Nia Ramadhani, Makanan Sehat Ini Bisa Jadi Penyebabnya!
Dokter yang periksa paru aku bilang curiga juga sama benjol yang di leher sebelah kiri kenapa bisa gede banget.
Akhirnya biopsi total masuk ICU, aku sempet koma juga 2 kali, dan gak ada perkembangan sama sekali. Orangtua aku mulai kesel minta pengobatan yang lebih baik. Tolong diberikan rujukan.
Di rujuk di rumah sakit Persahabatan di Jakarta Timur. Di cek semuanya dan baru ketahuan ternyata aku tuh gak TBC sama sekali tapi kanker kelenjar getah bening atau limfoma," ungkap Intan.
Akibat sempat salah diagnosis, Intan harus menerima kenyataan bahwa kanker yang ia derita telah memasuki stadium 4.
"Kalo masih benjolan kecil itu paling masih stadium 1, paling kemo 6 kali sembuh. Cuma waktu itu karena salah diagnosis, percaya sama satu rumah sakit.
Itu yang selalu aku tekenin juga sih jangan cuma percaya sama satu rumah sakit doang, karena diagnosis TBC sama kelenjar getah bening itu suka mirip. Orang suka salah. Udah terlanjur kemana-mana, di paru, di hati, macem-macem deh," ujar Intan.
Meskipun sempat menyesal karena hanya mempercayai satu rumah sakit sebelumnya, tetapi Intan mencoba tetap tegar dan ceria menerima kenyataan.
Baca Juga : Tak Hanya Istri, Orang-Orang Terdekat Indro 'Warkop' Ini Meninggal Dunia Karena Kanker
Penulis | : | Fadhila Auliya Widiaputri |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR