Nakita.id – Kabar tidak mengenakkan datang dari artis bersuara manja dan pandai menari, Roro Fitria.
Sebab, artis yang dikenal memiliki harta berlimpah ini sedang terjerat kasus narkoba.
Baru-baru ini, keadaan Roro Fitria dikabarkan mmeburuk dan terpukul karena tuntutan hukuman yang diberikan untuknya.
Roro Fitria dituntut 5 tahun penjara oleh jaksa penuntut umum (JPU) Maidarlis dalam sidangnya yang diselenggarakan di PN Jaksel, Kamis (4/10/2018).
Baca Juga : Nangis Sampai Pingsan di Kaki Ibu, Roro Fitria Dituntut 5 Tahun Penjara dan Denda 1 M!
Melansir dari Kompas.com, Jaksa Maidarlis menjelaskan bahwa Roro Fitria terbukti melanggar hukum terkait kepemilikan narkoba.
"Menjatuhkan pidana terhadap Roro Fitria binti Suprapto dengan pidana penjara selama lima tahun dikurangin selama terdakwa berada dalam penahanan sementara dengan perintah tetap ditahan," kata Maidarlis.
Menurut jaksa, artis berbadan mungil itu melakukan pemufakatan melawan hukum dengan menawarkan, menjual , membeli hingga menjadi perantara jual beli barang haram itu.
Lebih lanjut, jaksa menjelaskan bahwa kejahatan yang dilakukannya itu melanggar pasal 114 ayat 1 juncto pasal 132 ayat 1 Undang Undang RI nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika dalam suat dakwaan alternatif ke satu.
Tuntutan penjara yang diterimanya itu disertai dengan denda sebesar 1 miliar atau dapat diganti dengan kurungan selama enam bulan.
Tak hanya itu, ternyata Roro dituntut dengan pasal berlapis yakni, Pasal 112 ayat 1 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika (menyimpan, menguasai, memiliki), Pasal 127 Ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (penyalahgunaan), dan Pasal 132 UU RI Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (pemufakatan jahat).
Ternyata, setelah dibacakannya tuntutan jaksa membuat emosi Roro Fitria menjadi bergejolak.
Roro Fitria langsung menghampiri ibunya diiringi tangisan yang pecah.
Artis bersuara manja tersebut dengan erat lalu memegang tangan ibunya yang duduk di atas kursi roda.
Roro lantas digiring keluar dari ruangan untuk kembali ke ruang tahanan.
Namun saat berdiri, artis ini langsung jatuh pingsan di kaki sang ibu.
Pingsan karena syok berlebihan
Dikutip dari consumer.healthday.com, pingsan sering terjadi ketika aliran darah ke otak sementara tidak memadai.
Baca Juga : Rayakan Ulang Tahun, Kamar Mewah Via Vallen Jadi Sorotan, Berlapis Emas?
Ini bisa terjadi sebagai akibat stres, kesedihan, kepanasan, dehidrasi, keletihan, atau penyakit; pingsan juga dapat terjadi setelah minum obat tertentu.
Pingsan tidak sama dengan tertidur atau tidak sadar. Ketika seseorang pingsan, biasanya sementara dan orang itu dapat disadarkan kembali dalam beberapa menit.
Seseorang yang tidak sadar, bagaimanapun, tidak akan memberikan respons upaya untuk menyadarkannya.
Orang yang tidak sadar tidak dapat batuk atau membersihkan tenggorokannya, yang bisa berbahaya jika ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan atau saluran napasnya.
Sebelum pingsan, biasanya orang-orang akan menunjukkan beberapa gejala seperti kulit pucat, dingin, berkeringat, kepala pusing, dada sakit, sering menguap, mual, hingga denyut nadi yang melambat.
Untuk kasus Roro Fitria, kemungkinan pingsan yang dialaminya dikarenakan syok yang berlebihan.
Syok psikologis adalah ketika seseorang mengalami luapan emosi yang kuat dan reaksi fisik yang sesuai, sebagai respons terhadap peristiwa stres yang (biasanya tidak terduga).
Dikutip dari psychologytoday.com, tingkat reaksi syok yang diberikan tergantung dari seberapa dekat seseorang dengan suatu hal atau mengenai dampak suatu kejadian terhadap kehidupannya.
Beberapa gejala syok psikologis diantaranya adanya gelombang adrenalin, rasa gelisah, muntah, diare, dada terasa sakit, marah, berteriak, hingga pingsan.
Yang harus dilakukan ketika mengalami syok psikologis
Ketika seseorang sedang mengalami syok psikologis, biasanya akan sulit untuk berpikir jernih.
Saat hal itu terjadi, sebaiknya orang tersebut berusaha untuk setenang mungkin dalam bertindak.
Ketika seseorang sedang mengalami syok psikologis, biasanya orang tersebut akan tergoda untuk membuat keputusan yang buruk.
Baca Juga : Ditangkap Karena Melanggar, Model Cantik ini Malah Tawarkan Hubungan Intim, Lihat Reaksi Sang Polisi!
Misalnya, Moms mungkin merasa tergoda untuk pergi setelah menabrak mobil orang lain, meskipun Moms tahu itu tidak benar secara moral dan dapat mengakibatkan masalah hukum.
Ketika seseorang yang syok melakukan pelarian, bukan berarti ia berubah menjadi mengerikan.
Hanya saja, hal itu terjadi hanya sementara dan spontan.
Apabila Moms dirasa mengalami syok psikologis, sebaiknya biarkan diri untuk berpikir secara rasional dan logis.
Demikian juga, cobalah untuk tidak memukul siapa pun atau membuang apa pun. Dorongan itu adalah reaksi bertarung yang hanya terjadi sementara.
Saat seseorang mengalami syok psikologis biasanya tubuh akan mengalami lonjakan hormone stress yang dilepakan ke aliran darah.
Hal tersebut membuat tubuh memerlukan waktu beberapa jam agar bisa merasa normal kembali.
Saat Moms mengalami syok psikologis kemungkinan akan merasa mual, pusing, dan merasakan ketegangan otot, rasa sakit atau kekakuan.
Kenapa hal tersebut bisa membuat seseorang merasakan sakit?
Menurut Alice Boyes, Ph.D selaku psikolog, ketika Moms mengalami reaksi syok psikologis, biasanya secara tidak sadar akan menegangkan otot-otot untuk bertarung atau melarikan diri.
Moms tidak menyadari rasa sakit ini ketika Moms berada di tengah-tengah lonjakan adrenalin, tetapi karena lonjakannya memudar, beberapa sensasi rasa sakit itu barulah mulai muncul.
Moms tidak perlu melakukan apa pun saat menunggu tubuh kembali normal. Tubuh tahu apa yang harus dilakukan.
Peliharalah diri Moms sebaik mungkin, misalnya, dapatkan dukungan sosial dengan memberi tahu seseorang apa yang telah terjadi.
Syok psikologis yang berkepanjangan bisa memicu depresi
Ketika seseorang mengalami syok berlebihan biasanya akan merasa sedih yang akan brlangsung berkepanjangan bila tidak segera diatasi.
Kesedihan yang mendalam cenderung akan membuat seseorang depresi.
Depresi merupakan masalah kesehatan mental yang umum, dapat menyebabkan periode kesedihan yang berkepanjangan dan memicu pikiran bunuh diri.
Di lain sisi, stres juga masalah yang umum dan serius, tapi ia sering diremehkan dan dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Untuk diketahui, depresi dan stres adalah hal yang berbeda. Keduanya memiliki gejala yang berbeda, baik ketika dirasakan oleh diri sendiri, teman, anggota keluarga, dan rekan kerja.
Psikiater dr. Dimitrios Paschos mengatakan, depresi merupakan kondisi klinis yang memiliki beberapa gejala yang jelas.
"Ini merupakan penyakit umum yang cukup banyak menyerang populasi dunia. Sama seperti gangguan kardiovaskular, depresi dikategorikan sebagai sebuah penyakit," ujarnya.
Berbeda dengan depresi yang diklasifikasikan sebagai penyakit, stres disebut hadir dalam jutaan bentuk dan memiliki arti berbeda bagi setiap orang.
Apakah itu stres karena masalah keluarga, tekanan pekerjaan dan keuangan, juga kesepian. Sesuatu yang dianggap seseorang sebagai tugas sehari-hari dan dapat diselesaikan dengan mudah, bisa menjadi sumber stres bagi yang lainnya.
Jadi, menurut Paschos, stres lebih sulit untuk didefinisikan.
Baca Juga : Catat 7 Tanda Kritis pada Trimester Ketiga, Segera Hubungi Dokter
"Stres bukan istilah yang kami rujuk dalam pengertian medis. Meski begitu, kami memiliki banyak cara untuk mengukur kecemasan. Banyak orang mengatakan ‘stres’ padahal sebenarnya mereka berbicara tentang kecemasan," jelasnya.
Kecemasan, dalam konteks klinis, berarti dua hal. Yang pertama, respons dari tubuh – misalnya ketika Anda merasa tegang, jantung berdebar lebih cepat, sulit menjaga keseimbangan, dan berkeringat ketika sesuatu yang buruk akan terjadi.
Selain itu, ada komponen berpikir. Biasanya orang-orang akan terus khawatir atau merenung. Dengan ini, stres bisa dikaitkan dengan masalah kecemasan.
Dalam kalimat yang lebih ringkas, ahli farmasi, Kevin Leivers, memaparkan perbedaannya.
"Depresi adalah kesedihan terus menerus dalam jangka waktu yang panjang dan membutuhkan perawatan. Sementara stres terbentuk dari tekanan emosional dan mental," jelas Kevin.
Meskipun mampu meningkatkan risiko, namun stres tidak didefinisikan sebagai penyakit mental. Dr. Jane Devenish, ahli farmasi dari NHS Standards and Services, mengakui bahwa gejala kedua kondisi ini terkadang saling tumpang tindih.
Ia pun menjelaskan perbedaannya. "Secara signifikan, depresi berbeda dari stres. Saat mengidap depresi, mood Anda selalu buruk dan itu memengaruhi kehidupan sehari-hari. Sementara, stres hanyalah salah satu pemicunya,” kata Devenish.
Sama seperti stres, depresi juga bisa menimbulkan gejala sakit fisik. Selain itu, gejala emosionalnya mengganggu konsentrasi dan cara Anda memandang diri sendiri.
Saat orang mengalami depresi, umumnya ia akan merasa putus asa, terisolasi, tidak merasa terhubung dengan orang lain, dan tak lagi menikmati kehidupannya. Jika tidak segera ditangani, depresi akan membuat seseorang ingin bunuh diri.
Orang-orang yang mengidap depresi, membutuhkan bantuan dari ahli. Bisa berupa obat-obatan atau terapi.
Jika Anda melihat teman atau keluarga yang menunjukkan tanda-tanda depresi seperti menarik diri dari lingkaran sosial, mengabaikan hal-hal yang biasanya disukai, dan selalu putus asa, jangan hakimi mereka.
"Jika kenalan Anda mengalami gejala deprese, hal terbaik yang harus dilakukan adalah memastikan mereka tahu bahwa Anda peduli dan dapat bercerita kapan saja," pungkas Devenish.
Mencegah depresi dengan menikmati ruang hijau
Dibanding berdiam diri di rumah, para ahli menyarankan agar kita lebih banyak menghabiskan waktu di ruang hijau.
Selain membuat suasana hati menjadi lebih baik, hal ini juga dapat meningkatkan kesehatan mental kita.
Baca Juga : Ersya Aurelia Pamer Adegan Ranjang di Televisi, Ini Potret Cantiknya
Dalam studi yang terbit di JAMA Network Open, Jumat (20/7/2018), hal ini penting khususnya untuk masyarakat yang tinggal di perkotaan atau lingkungan kumuh.
Para ahli telah membuktikan hubungan antara kedua hal tersebut di kota Philadelphia, Pennsylvania. Pertumbuhan ruang hijau di kota tersebut secara signifikan dapat menurunkan stres, perasaan tidak dianggap, dan meningkatkan kesehatan mental warganya.
"Ruang hijau adalah intervensi struktural yang sederhana dan murah, namun dapat meningkatkan kesehatan banyak orang," kata rekan penulis studi Dr. Eugenia South asisten profesor dari Fakultas Kedokteran, Universitas Pennsylvania, dilansir Time, Jumat (20/7/2018).
Dalam penelitiannya, para ahli mengidentifikasi 541 lahan kosong di kota Philadelphia dan membaginya dalam kelompok. Satu kelompok terdiri dari beberapa lahan dalam radius 400 meter.
Di dalamnya ada lahan yang digunakan untuk membuang sampah ilegal, area tempat pembuangan mobil, dan ruang hijau.
Selanjutnya, ahli mewawancarai 421 orang yang tinggal berdekatan dengan lahan-lahan tersebut.
Mereka tahu menjadi bagian dalam studi tentang kesehatan di perkotaan dan mereka diminta menjawab pertanyaan seputar kesehatan mental.
Setelah survei awal dilakukan, para ahli memilih 37 kelompok lahan untuk dijadikan ruang hijau, 36 kelompok lahan lain digunakan untuk membuang sampah dan pemeliharaan ringan, dan 37 sisanya dibiarkan begitu saja.
Dalam waktu satu setengah tahun, ahli mewawancarai ulang 342 peserta. Sepertiga dari peserta tinggal di wilayah ruang hijau.
Mereka yang tinggal di area ruang hijau, tingkat depresinya turun sampai 41 persen dan perasaan tidak berguna turun sampai 51 persen, dibandingkan dengan peserta yang tinggal di area yang tidak direstorasi.
Source | : | psychology today,consumer health digest,kompas,lifestyle.kompas.com,Health and Wellness |
Penulis | : | Kirana Riyantika |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR