Di era digital ini, Gen Z juga sangat mengandalkan produktivitas dalam waktu singkat, dan ketika mereka merasa tidak produktif, hal itu bisa menimbulkan frustrasi.
Oleh karena itu, "jam koma" menjadi fenomena yang relevan bagi mereka, karena mewakili saat-saat ketika mereka merasa kehilangan kendali atas kemampuan mereka untuk bekerja atau belajar secara efektif.
Secara biologis, otak manusia memiliki siklus alami yang disebut ritme sirkadian, yaitu jam biologis yang mengatur siklus tidur dan bangun.
Dalam ritme sirkadian ini, ada dua periode utama di mana tubuh mengalami kelelahan secara alami: pertama, di malam hari ketika kita biasanya tidur, dan kedua, pada tengah hari, sekitar pukul 1 hingga 3 sore—tepat saat banyak orang mengalami "jam koma."
Selama periode ini, tubuh secara alami mengirimkan sinyal untuk beristirahat.
Otak yang telah bekerja keras di pagi hari mulai mengalami penurunan fungsi kognitif, dan produksi hormon melatonin (hormon tidur) mulai meningkat, membuat kita merasa mengantuk atau lesu.
Bagi banyak orang, ini adalah saat mereka cenderung merasa "koma", atau kehilangan produktivitas dan fokus.
Selain itu, pola makan juga memengaruhi kondisi ini.
Setelah makan siang, terutama jika makanan yang dikonsumsi tinggi karbohidrat, kadar gula darah dalam tubuh akan melonjak, diikuti dengan penurunan cepat, yang menyebabkan perasaan lelah dan kurang energi.
Ini memperburuk kondisi "jam koma" dan membuat seseorang semakin sulit berkonsentrasi.
Meskipun "jam koma" adalah bagian alami dari ritme tubuh, ada beberapa strategi yang dapat membantu mengatasinya, terutama bagi Gen Z yang sangat bergantung pada produktivitas tinggi:
Baca Juga: Sampai Umur Berapa Anak Harus Tidur Siang Demi Tumbuh Kembang Optimal?
Penuh Kejutan! Indomie Gandeng NewJeans Jadi Global Brand Ambassador dan Luncurkan Varian Korean Ramyeon Series
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Aullia Rachma Puteri |
KOMENTAR