Hal ini didasarkan dari salah satu keterangan hadits dari seorang wanita dari suku Juhainah bertanya pada Rasulullah SAW,
"Ibuku telah bernazar untuk haji tetapi ia meninggal dunia sebelum menunaikannya. Apakah aku boleh melakukan atas namanya?" Nabi SAW menjawab, "Boleh, berhajilah menggantikannya. Bagamana pendapatmu jika ibumu memiliki utang, bukankah kamu akan membayarnya? Bayarlah (utang) kepada Allah, karena Dia lebih berhak untuk dilunasi," (HR Bukhari dan An Nasa'i).
Menurut buku yang berjudul Fiqih Muamalah, badal secara lughawi (menampakkan makna Alquran menggunakan kaidah kebahasaan) berarti mengubah, menukar, atau mengganti.
Arti lain menyebutkan bahwa badal haji adalah seseorang yang menunaikan ibadah haji atas nama orang lain yang terkena udzur atau sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya dan sudah meninggal.
Akibatnya, ia tidak bisa melaksanakan ibadah haji sendiri.
Seseorang yang akan di-badal-kan hajinya harus istitha’ah, yaitu mampu dari segi jasmani, rohani, ataupun harta sebelum terkena sakit atau meninggal dunia. Para ulama pun sepakat untuk memperbolehkan badal haji.
Namun, jika seseorang mewakilinya hanya untuk menunaikah haji sunnah, setelah haji pertamanya maka ini tidak diperbolehkan terjadi.
Dengan begitu, penting untuk mengetahui apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menunaikan badal haji agar ibadahnya sah.
Menurut Kementerian Agama syarat seseorang yang menunaikan badal haji, yaitu ia harus memenuhi syarat wajib haji dan sudah haji untuk dirinya sendiri.
Mengutip dari buku yang berjudul Fiqih Haji: Menuntun Jama’ah Haji Mencapai Haji Mabrur, Badal Haji dapat diperbolehkan selama memenuhi syarat-syarat berikut ini.
1. Seseorang yang di-badal-kan harus sudah meninggal dunia, mengalami sakit yang tidak memiliki harapan untuk sembuh, dan tunanetra.
Penulis | : | Aullia Rachma Puteri |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR