Nakita.id - Tahukah Moms, pemberian label kepada seseorang cenderung membuat orang lain melihat keseluruhan kepribadian si penyandang label, dan bukan pada perilakunya satu persatu.
Misalnya, melabel anak dengan sebutan 'anak malas' saat anak terlihat tidak bergairah untuk belajar, atau melabel 'anak bodoh' saat anak dapat nilai kurang memuaskan.
Sebenarnya, pelabelan tidak melulu berisi cap bermakna negatif semacam nakal, bandel, malas, jorok dan seterusnya.
Tapi labelling pada anak bisa juga yang bermakna positif, seperti pintar, rajin, cantik, hebat, kuat dan sejenisnya.
Berbicara mengenai label positif, anak-anak yang mendapat label positif umumnya akan tumbuh menjadi pribadi yang lebih positif.
Paling tidak, anak akan terpacu untuk mempertahankan label-label positif yang diterimanya itu.
la pun akan merasa malu jika bertindak atau bersikap tidak sesuai dengan labelnya.
Meski begitu, orangtua hendaknya jangan pula gampang mengobral label positf untuk anak.
Sebab, dampaknya sama tidak baiknya dengan label negatif.
Sebetulnya efek negatif labeling itu adalah membatasi.
Baca Juga: #LovingNotLabelling: Berhenti Labeli Si Kecil dengan Kata 'Cengeng', Ini Tips Mudah Cara Atasinya
Contohnya membatasi minat. Oh dia adalah penari yang handal, bisa saja dia termotivasi untuk memperbaiki tarinya dan sebagainya.
Tetapi hal tersebut bisa membuat dirinya tidak terlalu berminat untuk mecoba hal-hal lainnya, "Saya kan Jagonya nari, ngapain main basket", dan lain sebagainya.
Padahal siapa tahu, dia tak hanya pintar menari, atau dibidang lainnya bisa jadi dia lebih hebat dari menari.
Selain itu anak yang kerap dipuji pintar, akan cenderung menganggap dirinya pintar dalam semua bidang, dan akan sulit terfokus pada bidang yang menjadi minat dan bakatnya.
Tak hanya itu, sangat mungkin pula anak yang biasa menerima label positif akan tumbuh menjadi individu yang 'sombong', sebab ia tak bisa menerima kekurangan dan kelemahan dirinya akibat terlalu sering dipuji.
Akibatnya, anak akan gampang frustrasi jika tidak mencapai target yang ingin ia raih.
Selain itu, saat orangtua selalu memuji anak pintar dalam suatu bidang, padahal faktanya tidak demikian, maka saat anak mengikuti kompetisi di bidang tersebut dan kalah, maka hal tersebut akan membuatnya sangat tertekan.
Agar pemberian pujian tak berdampak negatif, lontarkan saja pujian secara spesifik dan sesuai dengan tingkah laku anak sebenarnya.
Jika anak memang memiliki keterampilan yang positif, semisal ia mempunyai kemampuan di bidang tertentu, pujilah perilakunya itu sesuai fakta.
Misalnya, "Kamu berhasil memenangkan lomba melukis karena kamu memang pandai melukis, mama sangat bangga, dan teruslah berlatih".
Sebaliknya, jangan segan memberikan kritik atau teguran, jika perbuatan anak dirasa tidak sesuai dengan tuntutan lingkungan.
Contoh, saat anak mendapatkan nilai yang kurang memuaskan pada mata pelajaran tertentu, sebagai orangtu kita wajib untuk bertanya, "Menapa hal tersebut terjad, nak?"
Bisa juga, "Mama lihat nilai matematika kamu kurang memuaskan, ada apa?"
Hal itu jauh kebih baik dibandingkan langsung memberikan label 'anak bodoh'.
Baca Juga : #LovingNotLabeling: Hati-hati, Memberikan Pujian Pada Anak Bisa Berbahaya Bila Dilakukan Dengan Cara Ini
Setelah anak menjelaskan, kita bisa memotivasinya kembali.
"Tidak apa nilai matematika kamu buruk, namun mama lihat nilai sejarah kamu baik, terus semangat ya memperdalam ilmu sejarah, sembari memperbaiki kekurangan kamu di mata pelajaran matematika".
Dengan cara ini, anak tidak akan merasa di judge dan dijatuhkan akibat kekurangan yang ia miliki.
Bagaimana Moms, sudah semakin paham kan jika sayang itu bukan melabel.
Source | : | nakita |
Penulis | : | Nita Febriani |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR