Nakita.id - Berdasarkan data UNESCO, masyarakat Indonesia masih sangat aktif dalam menggunakan media sosial.
“Hasil penelitian dari UNESCO menyimpulkan bahwa 4 dari 10 orang Indonesia aktif di media sosial.
Seperti Facebook yang memiliki 3,3 juta pengguna, kemudian WhatsApp dengan jumlah 2,9 juta pengguna dan lain lain,” ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, melansir laman Kominfo, Kamis (30/8/2018).
Secara umum, media sosial tentu mempunyai dampak positif serta negatif.
Melansir Kompas.com, dampak negatif dari media sosial adalah membuat penggunanya menjadi antisosial.
Perbedaan antara antisosial secara ilmu kejiwaan dan antisosial yang sering disebut-sebut di percakapan sehari hari, antisosial dalam ilmu kejiwaan juga biasa disebut schizoid.
Termasuk sebuah gangguan kepribadian yang bentuknya menghindari hubungan dengan orang lain dan tidak menunjukkan banyak emosi.
Schizoid benar-benar lebih suka menyendiri dan mencari pekerjaan yang memerlukan sedikit kontak sosial.
Sedangkan antisosial yang sering jadi celetukan di percakapan sehari-hari, biasanya lebih mengacu pada dampak media sosial, yaitu lebih aktif di dunia maya dibandingkan berinteraksi di dunia nyata.
Studi telah menunjukkan, bahwa orang-orang yang menghabiskan banyak waktu di media sosial, setidaknya dua kali mengecek media sosial dalam sehari, lebih mungkin merasa terisolasi secara sosial.
Shannon Poppito, seorang psikolog di Baylor Medical University di Dallas menyatakan, ketika seseorang menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial, mereka memutuskan hubungan dari kehidupan nyata dan akhirnya malah merasa kurang terhubung dengan diri mereka sendiri.
Lalu, dengan terus terlibat dalam kehidupan orang lain melalui media sosial, mereka mulai membanding-bandingkan diri sendiri dengan apa yang orang lain tampilkan di dunia maya.
View this post on Instagram
Lebih parahnya jika sudah mulai terpengaruh sejak anak-anak.
Poppito juga mengatakan, media sosial sangat mempengaruhi perkembangan psikologis dan sosial seseorang, terutama kalau sudah mengenal media sosial sejak anak-anak.
Pasalnya, di masa kecil, anak-anak membutuhkan stimulasi dan sosialisasi di dunia yang nyata, seperti bermain dan bercengkrama satu sama lain.
Di sisi lain, American Academy of Pediatrics (AAP) baru-baru ini merilis temuan dari studi komprehensif tentang dampak sosial media terhadap anak-anak dan keluarga.
Jejaring sosial sedang meningkat, dan penelitian menemukan bahwa 22% remaja masuk ke situs media sosial favorit mereka lebih dari 10 kali sehari, dan 75% memiliki telepon seluler.
Penyakit ini juga disebut "depresi Facebook" (fenomena baru di mana "berhadapan dengan teman" dan penindasan online mengarah pada gejala depresi), paparan konten yang tidak pantas, dan menulis pesan tentang seks.
Seorang ahli saraf terkemuka dari Inggris, Baroness Susan Greenfield mengatakan sosial media memiliki efek buruk pada kematangan emosional anak-anak, membuat mereka memiliki mental seperti anak berusia tiga tahun.
Menurutnya, terlalu sering menggunakan media sosial dan video game membuat anak-anak tidak dapat berkomunikasi satu sama lain dan berpikir untuk diri mereka sendiri.
Ini terjadi karena mereka terus mencari sesuatu untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Apa yang saya prediksi adalah orang-orang akan menjadi seperti anak usia tiga tahun, dalam hal emosional, keberanian ambil risiko, keterampilan sosial yang buruk, identitas diri yang lemah dan fokus yang pendek,” katanya.
Berdasarkan penelitian tahun 2014 dari Virginia University dan Harvard University, para siswa lebih memilih mendapat kejutan elektrik daripada dibiarkan berpikir sendiri tanpa gangguan selama 10 menit.
Menurut Greenfield, riset tersebut menunjukan manusia perlu stimulasi konstan dari lingkungan mereka setiap saat dan tak lagi mampu merenungkan isi pikiran sendiri. Tentu hal ini dapat sangat merugikan bagi anak-anak.
Baca Juga : Jangan Sembarang Pamerkan Kisah Romantis Moms di Media Sosial
Greenfield juga menambahkan penggunaan perangkat yang berlebihan juga memberi efek jangka panjang pada kepekaan bahasa tubuh untuk membaca, hidup, bekerja, sekolah dan dalam hubungan antar sesama.
Ia juga mengklaim anak-anak yang menggunakan media sosial dan aktif menggunakan perangkat digital rentan menderita depresi dan rendah diri, serta menjadi lebih narsistik.
Oleh karenanya, orangtua harus kembali memperkenalkan kegiatan nyata seperti berkebun, olahraga dan membaca sebagai cara untuk mengurangi waktu anak bermain dengan ponsel dan menstimulasi imajinasi mereka.
Baca Juga : Hati-hati, Media Sosial Terbukti Timbulkan Depresi Hingga Kesepian!
Namun, anak-anak membutuhkan contoh yang nyata. Ini berarti orangtuanya harus lebih dulu mampu melakukan detoks digital.
Ahli detoks digital bernama Tanya Goodin menyebutkan, berdasarkan riset, anak-anak yang dijauhkan dari perangkat digital selama seminggu lebih peka terhadap komunikasi non-verbal pada orang lain daripada anak yang aktif bermain gawai.(*)
Source | : | Kompas.com,Nakita.ID |
Penulis | : | Rosiana Chozanah |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR